Psikologi Budaya


Salah satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002) yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70an, sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan.


Budaya dalam definisi diatas berarti mencakup hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya. Hanya sebagian kecil dimensi manusia yang tidak dicakup dalam konsep budaya, yakni yang terkait dengan insting serta naluri. Hal serupa dikemukakan oleh Van Peursen (1988) yang menyatakan kebudayaan sebagai proses belajar yang besar.

Koentjaraningrat (2002) memecahnyakonsep budaya ke dalam 7 unsur, yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan

Harry C. Triandis, pakar psikologi lintas budaya, mengartikan definisi tentang budaya, untuk memilah adanya objective culture dan subjective culture. Budaya objektif adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk nyata, seperti alat pertanian, hasil kesenian, rumah, alat transportasi, alat komunikasi dan sebagainya. Sedangkan budaya subjektif adalah segala sesuatu yang bersifat abstrak misalnya norma, moral, nilai-nilai, dan lainnya.

Dari lingkungan psikologi, budaya juga memperoleh banyak definisi. Tiga diantara definisi yang ada tertulis pada awal artikel ini (yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai analogi dari budaya, atau bahasa simbolik dari budaya ketimbang sebuah definisi). Misalnya Triandis memandang budaya memiliki kerja yang persis sama seperti halnya memori bagi individu. Kita tahu bahwa memori adalah bagian yang sangat vital dalam kehidupan seorang individu. Tanpa memori seorang individu tidak pernah bisa belajar apapun juga. Hal itu berarti kematian bagi manusia, karena tidak ada satupun ketrampilan untuk hidup yang dapat dikuasai. Memorilah yang menentukan segala pikiran dan perilaku manusia. Demikian juga masyarakat bisa tumbuh dan berkembang karena adanya budaya. Tanpanya, tidak akan ada masyarakat. Itu artinya tidak ada juga yang namanya manusia seperti diri kita sekarang.

Shinobu Kitayama menganalogikan peran budaya bagi manusia seperti peran air bagi ikan. Tanpa air ikan mati, manusia pun akan menjadi bukan manusia tanpa budaya. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, budaya menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku beda. Demikian juga budaya yang berbeda akan membuat manusia berbeda.

Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna.

aspek psikologis manusia tidak dapat dilepaskan dari budaya. Seperti juga yang diungkapkan Matsumoto.


 Fenomena psikologis (emosi, persepsi, motivasi, penalaran logis, intelejensi, memori, kesehatan mental, imajinasi, bahasa dan kepribadian yang dibentuk secara kolektif).

Fenomena budaya dibentuk dan terus diubah oleh manusia sehingga manusia berperan sebagai agensi. Manusia yang menjadi agensi ini secara langsung membentuk fenomena budaya yang mana dia juga dipengaruhi oleh aktivitas budaya, nilai-nilai, artifak dan psikologi.


Hubungan Psikologi dan Budaya Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya..

Secara sederhana Triandis (1994) menjelaskan hubungan psikologi dan budaya
Ekologi - budaya - sosialisasi - kepribadian – perilaku. 

Komentar