KAJIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA DALAM LINGKUP SELF/KEPRIBADIAN
A. Pendahuluan
Berbicara budaya
adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah individual. Pada ranah
sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya dan
membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar pertemuan-pertemuan
insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-aturan,
nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada
kepercayaan-kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus
menjadi kerangka perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan
bersama. Semua tata nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok
individu itulah yang disebut budaya.
Pada
ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk
membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan
masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk,
setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan,
sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan
situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari
individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa
budaya sangat mempengaruhi perilaku individu.
Budaya telah menjadi
perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme berpikir dan bertindak pada
suatu masyarakat kemudian dipelajari dan diperbandingkan terhadap masyarakat
lainnya. Psikologi budaya mencoba mempelajari
bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di dalam kajiannya, terdapat pula paparan
mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem
sosial yang di dalamnya tercakup budaya.
Adapun kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh
ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi
tertentu dari kebudayaan.
B. Pembahasan
Sebagai
makhluk yang dapat berpikir, manusia memiliki pola-pola tertentu dalam
bertingkah laku. Tingkah laku ini
menjadi sebuah jembatan bagi manusia untuk memasuki kondisi yang lebih maju.
Pada hakikatnya, budaya tidak hanya membatasi masyarakat, tetapi juga
eksistensi biologisnya, tidak hanya bagian dari kemanusiaan, tetapi struktur
instingtifnya sendiri. Namun demikian,
batasan tersebut merupakan prasyarat dari sebuah kemajuan.
Lewin
memberikan penjelasan mengenai peranan penting hubungan pribadi dengan lingkungan. Meksipun terdapat konstruk psikologis
individu yang sulit ditembus oleh lingkungan luar, lingkungan masih tetap
memiliki kontribusi dalam perkembangan individu. Dalam teori Medan
yang digagas Lewin ini, pribadi
tak dapat dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya.
Kelly
mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat dalam proses harapan-harapan
yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki kelompok budaya yang sama
akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam mengonstruk peristiwa-peristiwa,
dan mereka pun mengembangkan jenis-jenis harapan yang sama mengenai jenis-jenis
perilaku tertentu.
Terdapat
suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan
dunianya (lingkungan). Sementara itu,
sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang
hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika
diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan
oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi
kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di
inginkan akan terjadi secara terus-menerus.
Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk
ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.
Kepribadian dalam Lintas Budaya
Kepribadian
merupakan konsep dasar psikologi yang berusaha menjelaskan keunikan manusia.
Kepribadian mempengaruhi dan menjadi kerangka acuan dari pola pikir dan
perilaku manusia, serta bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu
yang tak lepas dari konsep kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai
konstuk sosial.
Menurut Roucek dan Warren,
kepribadian adalah organisasi yang terdiri atas faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosiologis sebagaimana digambarkan oleh bagan di bawah ini:
Definisi kepribadian
Hal
pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah
perbedaan diantara keberagaman budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam
literature-literatur Amerika umumnya kepribadian dipertimbangkan sebagai
perilaku, kognitif dan predisposisi yang relatif abadi. Definisi lain
menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran,
perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten
dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu kekhususan
(distinctiveness) dan stablilitas serta konsistensi (stability and
consistency).
Semua
definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan
konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Definisi tersebut
diyakini dalam tradisi panjang oleh para psikolog Amerika dan Eropa yang sudah
barang tentu mempengaruhi kerja ataupun penelitian mereka. Semua teori mulai
dari psikoanalisa Freud, behavioral approach Skinner, hingga humanistic
Maslow-Rogers meyakini bahwa kepribadian berlaku konsistan dan konsep-konsep
mereka berlaku universal.
Dalam
budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya
timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization).
Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu
berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
Locus of control
Hal
paling menarik dari hubungan kepribadian dengan konteks lintas budaya adalah
masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang
menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar
kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain
serta lingkungan.
Locus
of control kepribadian umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu
internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri
mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat
mereka. Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar
dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai
contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat (Eropa-Amerika)
dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat diri mereka
dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang
mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi
tingkat kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control
kepribadiannya cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh
dukungan orang lain ataupun lingkungan.
Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian
manusia selalu berubah sepanjang hidupnya dalam arah-arah karakter yang lebih
jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut sangat dipengaruhi lingkungan
dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber
Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet
dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat
ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang
ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian
seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal
bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan.
Selain
itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin
bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin
pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of
control dirinya semakin mengarah ke luar (eksternal).
Budaya dan Indigenous Personality
Berbagai
persoalan mendasar yang muncul dalam kajian kepribadian dalam tinjauan lintas
budaya dia atas menggambarkan sebuah kenyataan bahwa antar budaya yang berbeda
sangat mungkin secara mendasar memiliki pandangan yang berbeda mengenai apa tepatnya
kepribadian itu. Suatu kenyataan yang merangsang perlunya kajian-kajian yang
bersifat lokal atau indigenous personality yang mampu memberi penjelasan
mengenai kepribadian individu dari suatu budaya secara mendalam.
Konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya
tertentu dan relevan hanya pada budaya tersebut.
Sebagai
contoh kajian indigenous personality adalah penelitian yang dilakukan Doi
(1973). Doi mengemukakan adanya Amae yang dikatakan sebagai inti konsep dari
kepribadian orang-orang Jepang. Amae berakar pada kata ‘manis’, dan secara
perlahan dirujukkan sebagai sifat pasif, ketergantungan antar individu.
Dipaparkan pula bahwa Amae berakar pada hubungan antara bayi dengan ibunya.
Menurut Doi, relationship seluruh orang Jepang dipengaruhi dan
berkarakteristik Amae, sebagaimana Amae
ini secara mendasar mempengaruhi budaya dan kepribadian orang Jepang. Suatu
konsep yang memandang kepribadian sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep
hubungan sosial.
Temuan
mengenai Amae di atas menunjukkan adanya perbedaan konsep kepribadian antara
orang Jepang dan orang Amerika. Para Psikolog Amerika memandang bahwa yang
menjadi inti kepribadian adalah konsep Ego. Ego disebut ekslusif kepribadian
karena Ego mengontrol pintu-pintu kearah tindakan, memilih segi-segi lingkungan
kemana ia dan bagaimana caranya, serta memiliki kuasa mengontrol proses-proses
kognitif berupa persepsi, memori dan berpikir. Tujuan terpenting dari Ego
adalah mempertahankan kehidupan individu. Konsep yang memandang kepribadian
sebagai suatu yang bersifat otonom.
Budaya dan Konsep Diri
Definisi konsep diri
Konsep diri adalah organisasi
dari persepsi-persepsi diri. Organisasi dari bagaimana kita mengenal, menerima
dan mengenal diri kita sendiri. Suatu deskripsi tentang siapa kita, mulai dari
identitas fisik, sifat hingga prinsip.
Berpikir mengenai bagaimana
mempersepsi diri adalah bagaimana seseorang memberi gambaran mengenai sesuatu
pada dirinya. Selanjutnya label akan sesuatu dalam diri tersebut digunakan
sekaligus untuk mendeskripsikan karakter dirinya. Sebagai contoh, seseorang
yang mengatakan bahwa dirinya adalah seorang yang humoris. Deskripsi ini
berimplikasi bahwa: (1) orang tersebut memiliki atribut sebagai seorang yang
humoris dalam dirinya, yang boleh jadi merupakan kemampuan ataupun ketertarikan
terhadap segala hal yang berbau humor, (2) semua tindakan, pikiran dan perasaan
orang tersebut mempunyai hubungan yang dekat dengan atribut tersebut, bahwa
orang tersebut selama ini dalam setiap perilakunya selalu tampak humoris, (3)
tindakan, perasaan dan pikiran orang tersebut di masa yang akan datang akan
dikontrol oleh atributnya tersebut, bahwa orang tersebut dalam perilakunya di
esok hari akan selalu menyesuaikan dengan atributnya tersebut.
Asumsi-asumsi akan pentingnya
konsep diri berakar dari pemilikiran individualistik barat. Dalam masyarakat
barat, diri dilihat sebagai sejumlah atribut internal yang meliputi kebutuhan,
kemampuan, motif, dan prinsip-prinsip. Konsep diri adalah inti dari keberadaan
(existence) dan secara naluriah tanpa disadari mempengaruhi setiap pikiran,
perasaan dan perilaku individu tersebut.
Diri individual
Diri individual adalah diri
yang fokus pada atribut internal yang sifatnya personal; kemampuan individual,
inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan individual. Diri adalah
terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual
mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang sejarahnya untuk mendorong
kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk membangun konsep akan
diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka tujuan keberhasilan
yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini,
nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri megambil bentuk khas
individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras dari individu
tersebut.
Diri individual adalah
terbatas dan terpisah dari ornag lain. Informasi relevan akan diri yang paling
penting adalah atribut-atribut yang diyakini stabil, konstan, personal dan
instrinsikdalam diri.
Diri
kolektif
Budaya yang menekankan nilai
diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan akan keterkaitan antar manusia
satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro kosmos dengan lingkungan di
luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama normative pada budaya ini adalah
bagaimana individu memenuhi dan memelihara keterikatannya dengan individu lain.
Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan orang lain atau kelompok dimana
mereka bergabung. Tugas normative sepanjang sejarah budaya adalah mendorong
saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya, diri (self) lebih focus pada
atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif
ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila individu tersebut mampu
memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting dalam hubungan dengan
komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka (interdependent), dan
penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting dalam pengalaman
kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri
(self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad konteks, serta saling
overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya yang dekat atau
relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang
terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
Pengaruhnya terhadap persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond
danTak-Sing (1983), dan Shwender dan Bourne (1984) menunjukkan bagaimana
perbedaan konstruk diri mempengaruhi persepsi diri. Studi ini membandingkan
kelompok Amerika dan kelompok Asia, subyek diminta menuliskan beberapa
karakteristik yang menggambarkan diri mereka sendiri. Respon yang diberikan
subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis, yaitu respon abstrak atau
deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah bergaul, saya orang
yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah bergaul dengan
teman-teman dekat saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa
subyek Amerika cenderung memberikan respon abstrak sedangkan subyek Asia
cenderung memberikan respon situasional. penemuan ini menyatakan bahwa individu
dengan konstruk diri yang dependent cenderung menekankan pada atribut personal:
kemampuan ataupun sifat kepribadian; sebaliknya individu dengan konstruk diri
intersependent lebih cenderung melihat diri mereka dalam konteks situasional
dalam hubungannya dengan orang lain.
Pengaruhnya pada social explanation
Konsep diri juga menjadi
semacam pola panduan bagi kognitif dalam melakukan interpretasi terhadap
perilaku orang lain. Individu dengan diri individual, yang memiliki keyakinan
bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal yang relatif stabil,
akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya, ketika mereka
melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain, mereka
berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut didasi
dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
Pengaruhnya pada motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang
membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi perilaku manusia dan organisme
lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang paling banyak menarik perhatian
dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling controversial karena
banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori motivasi yangn
terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow,
manusia memiliki hierarki kebutuhan dari kebutuhan paling dasar yaitu
fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Sementara
menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder yang penuh
tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau
menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep
diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan sebagai sesuatu yang personal
dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial ataupun interpersonal.
Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat sebagai bagian
kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih luas.
Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang
lain, terutama orang-orang terdekat.
Pengaruhnya pada peningkatan diri
(self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan
harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk yang berbeda pada budaya yang
cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang datang dari budaya
interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak terkait dengan
harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction).
Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan
keberhasilan memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan,
dan saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir
sebagai unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis
diri. Mereka akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai
manusia.
Pengaruhnya pada emosi
Emosi dapat diklasifikasikan
atas arah hubungan sosial dari emosi, yaitu apakah emosi tersebut akan
mengarahkan pada pemisahan diri dengan lingkungan, penarikan diri, ataupun
penolakan hubungan sosial sekaligus secara simultan meningkatkan rasa penerimaan
diri untuk mandiri dan lepas dari ketergantungan pada orang lain yang
selanjutnya disebut socially disengaged emotions dan emosi yang akan
mengarahkan pada keterhubungan dengan orang lain dan lingkungan luarnya atau
dikenal sebagai socially engaged emotions.
C. Penutup
Menutup
uraian makalah ini, ijinkanlah penulis kembali mengingatkan hakikat dari
perbedaan yang ada di muka bumi, yaitu agar manusia saling mengenal
sesamanya. Adanya latar belakang budaya
yang berbeda, tentu akan dapat melahirkan perbedaan pemikiran. Namun demikian, perbedaan pemikiran itu
hendaknya tidak melulu menjadi suatu perdebatan di antara masyarakat. Perbedaan itu hendaknya menjadi kekayaan
bersama dalam khasanah kebudayaan masyarakat dunia yang memang heterogen.
Ketepatan
kita dalam memandang suatu permasalahan melalui perspektif tertentu akan dapat
mengeliminasi permusuhan antar golongan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Freud, pada hakikatnya insting mati memang
telah ada dalam diri manusia. Hanya
saja, penulis berkeyakinan bahwa insting dalam diri manusia selalu dapat
dikendalikan. Oleh karena itu,
penggunaan sudut pandang yang tepat dalam mengkaji suatu masalah budaya adalah
langkah yang tepat untuk dapat mengendalikan insting manusia.
Komentar
Posting Komentar